Orang sunda memang suka “heurey” alias bercanda, maka ada orang yang mengartikan sunda=suka
bercanda. Alasan itu semakin diperjelas dengan semakin banyaknya pelawak Nasional yang
lahir di tanah sunda. Salah satu yang fenomenal dan melegenda adalah KANG
IBING, seniman serba bisa yang juga sangat merepresentasikan orang sunda
asli.
Kang Ibing |
Kang Ibing adalah salah satu seniman oldskool yang dimiliki negri ini. Seniman serba bisa, mulai dari komedian, aktor, penyiar radio, penulis, pencipta lagu, bahkan diujung usianya ia sukses pula menjadi seorang “mubaligh” yang merubah ceramah rohani menjadi tidak membosankan.
Terlahir dengan nama lengkap R. Aang Kusmayatna
Kusiyana Samba Kurnia Kusumadinata (sebuah nama yang “seurius”), Kang Ibing lahir
di Sumedang,
20 Juni
1946 silam. Anak dari
pasangan R. Suyatna Bin Aang dan Nyi R Kusdiah Ratna Komala ini adalah keturunan
Raden, yaitu golongan ningrat dari keluarga priyayi Sunda.
Waktu kecil, Ibing ikut kakek dan neneknya tinggal
di kawasan Jl. Asia Afrika. Setelah lulus SMAN 4 Bandung, kang Ibing yang juga berotak
cerdas, masuk Universitas Padjadjaran, Jurusan Sastra Rusia. Di UNPAD, dengan
darah seninya, ia sempat menjadi Ketua Kesenian Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), Penasihat
Departemen Kesenian Unpad, bahkan sempat pula menjadi Asisten Dosen.
Kang Ibing Muda |
Awal karirnya bermula saat ia bermain ke Radio Mara (salah satu Stasiun Radio di Bandung), dan melihat sahabatnya Aom Kusman, menjadi pembawa kuis di radio tersebut. Dia pun ditawari menjadi penyiar dengan nama samaran KANG IBING. Bersama Wildan Nasution, ia menjadi pembawa acara OBROLAN RINEH, sebuah program acara yang santai, kocak dan sarat kritik. Gaya bicaranya yang berintonasi khas Sunda melekat dalam diri nya hingga respon baik pun diterimanya dari para pendengar.
Kang Ibing Siaran Radio |
Suatu hari, Ibing dipertemukan lagi dengan
sahabatnya dan mengajak untuk membuat group lawak. Awalnya Ibing menolak
mentah-mentah tawaran itu karena dia bercita-cita jadi tentara(?!). Tapi karena
terdesak masalah ekonomi, ia akhiranya menerima tawaran tersebut. Bersama Aom Kusman,
Suryana
Fatah, Wawa Sofyan,
dan Ujang, lahirlah group lawak kenamaan asal
kota Bandung bernama De Kabayan pada
tahun 1970. Group ini juga menelurkan beberapa kaset rekaman humor-humor
mereka. Di grup ini kang ibing berperan sebagai Kang Maman, mewakili orang
sunda bersosok lugu, jujur, polos dan membuat mangkel lawan bicara.
De Kabayan |
Hingga pada tahun 1975, Kang Ibing ditawari untuk berakting dalam film layar lebar berjudul Si Kabayan, seorang tokoh legendaris cerita rakyat Pasundan, yang di Sutradarai oleh Sofyan Sharma. Menjadi tokoh utama bersama Lenny Marlina (pemeran Nyi Iteung), Kang Ibing cukup sukses memerankan Si Kabayan, dan film tersebut mengantarkannya menuju puncak popularitas.
Tawaran demi tawaran pun akhirnya mengikuti jejak
karir Kang Ibing. Tercatat beberapa film telah di bintanginya, seperti Ateng
The Godfather (1976), Bang Kojak (1977), Si Kabayan dan Gadis Kota (1989), Boss
Carmad (1990), Komar Si Glen Kemon Mudik (1990), Warisan Terlarang (1990) dan
Di Sana Senang Di Sini Senang (1990). Selain bermain film,
Kang Ibing juga memerankan Bintang Iklan dari beberapa produk pada saat itu.
Keasyikan bekerja, Kang Ibing pun terlambat untuk menikah. Hingga ia akhirnya ia berkenalan dengan Nike, anak seorang tentara berpangkat Kolonel. Kang Ibing pun memberanikan diri untuk melamar. Berbuah kemampuan meyakinkan calon mertua, Kang Ibing diterima menjadi menantu. Perbedaan usia 13 tahun dengan Nike justru menjadi semangat hidup baginya. Nike memberinya anak, Kusumadika Rakean Kalang Sunda, Kusumananda Mega Septemdika, dan Diane Fatmawati.
Sebagai penggiat kesenian tanah pasundan, Kang Ibing pun dikenal sebagai pelestari budaya sunda. Pakaian kebesarannya, celana pangsi, kaos oblong, baju kamprét, kain sarung yang diikatkan di pinggang, dan yang paling khas, peci hitam yang dipasangkan menyamping di kepala, merupakan pakaian adat khas sunda asli pedalaman. Bahkan pada akhirnya pakaian tersebut menjadi trademark-nya untuk jangka waktu yang lama.
Ia juga senang memelihara domba, salah satu warisan budaya khas suku sunda. Bahkan tempat tinggalnya yang terletak di Kompleks Pandan Wangi Ciwastra Bandung, dilengkapi dengan kandang hewan kesayangannya itu.
Keasyikan bekerja, Kang Ibing pun terlambat untuk menikah. Hingga ia akhirnya ia berkenalan dengan Nike, anak seorang tentara berpangkat Kolonel. Kang Ibing pun memberanikan diri untuk melamar. Berbuah kemampuan meyakinkan calon mertua, Kang Ibing diterima menjadi menantu. Perbedaan usia 13 tahun dengan Nike justru menjadi semangat hidup baginya. Nike memberinya anak, Kusumadika Rakean Kalang Sunda, Kusumananda Mega Septemdika, dan Diane Fatmawati.
Sebagai penggiat kesenian tanah pasundan, Kang Ibing pun dikenal sebagai pelestari budaya sunda. Pakaian kebesarannya, celana pangsi, kaos oblong, baju kamprét, kain sarung yang diikatkan di pinggang, dan yang paling khas, peci hitam yang dipasangkan menyamping di kepala, merupakan pakaian adat khas sunda asli pedalaman. Bahkan pada akhirnya pakaian tersebut menjadi trademark-nya untuk jangka waktu yang lama.
Ia juga senang memelihara domba, salah satu warisan budaya khas suku sunda. Bahkan tempat tinggalnya yang terletak di Kompleks Pandan Wangi Ciwastra Bandung, dilengkapi dengan kandang hewan kesayangannya itu.
Kang Ibing juga dikenal sebagai seorang bobotoh
Persib (salah satu Klub sepak bola kebanggaan warga Bandung). Sebagai bentuk
kecintaannya terhadap Persib, Kang Ibing menciptakan lagu “Jung Maju Maung
Bandung” yang sudah ada sejak jaman perserikatan. Ketika Persib menjuarai Liga
Indonesia tahun 1991, lagu “Jung Maju Maung Bandung” yang dibawakan Kang Ibing
kerap muncul di TVRI dan cukup populer. Juga ada lagu berjudul "Hariring
Persib" hasil ciptaannya, yang juga masuk kedalam album Kompilasi Viking Persib II
bersamaan dengan lagu-lagu dari seniman Bandung lainnya, seperti Doel Sumbang,
Tataloe Percussion, Forgotten, dan lain-lain.
Pada Desember 2010, sebuah penghargaan khusus
diberikan kepada Kang Ibing bersama empat orang lainnya sebagai warga Jabar
terbaik yang selama hidupnya memiliki dedikasi dan loyalitas dalam menjalankan
profesinya hingga mengangkat citra Jawa Barat di tingkat nasional hingga
internasional.
Di masa tuanya, Kang Ibing tetap berkarya. Di
harian Pikiran Rakyat, secara rutin Kang Ibing bertindak sebagai komentator di
Rubrik Sepakbola Bodor, artikel yang muncul ketika musim sepakbola datang,
seperti Piala Eropa dan Piala Dunia. Terakhir, Kang Ibing menulis artikel soal
Belanda vs Jerman di pertandingan Piala Dunia 2010 yang bertajuk “Rele Renang Nuting Tongharcet!”
(plesetan dari ‘Rek eleh rek meunang, nu
penting tong dahar bancet!’, yang berarti mau menang ataupun kalah, yang
penting jangan makan bancet atau kodok kecil).
Di akhir masa hidupnya, Kang Ibing yang memang
terlahir dari keluarga aktivis Islam di Jawa Barat, mengabdikan hidupnya dengan
berbagi dalam hal spiritual atau keagamaan. Belakangan, Kang Ibing sering
diminta oleh berbagai pihak untuk menyampaikan ceramah. Sebagai pendakwah,
jadwalnya pun lumayan padat. Dia tidak pernah memilih-milih dalam memberikan
siraman rohani, baik di masjid yang ada di lingkungan pedesaan, kota, perkantoran,
ataupun kampus di wilayah Indonesia. Bahkan di luar negeri, seperti ke
Australia. Bersama Prof Salumuuddin, ia juga mengkhidmatkan dirinya di Dewan Pimpinan
Pesantren Modern Baiturrahman Bandung. Selain itu, ia berperan mendirikan
beberapa masjid di Bandung dan sekitarnya.
Mengabdi Kepada Agama |
Di balik kesuksesan popularitas namanya, Kang Ibing
tetap merasa digelisahkan melihat bagaimana perkembangan dunia lawak di Jawa
Barat yang seakan-akan termarginalkan. Sebagai komedian, ia merasa humor atau
lawak melulu dimengerti tak lebih dari sebuah pekerjaan yang memproduksi
kelucu-lucuan agar orang tertawa. Tak lebih dari itu. Humor tak pernah dipahami
sebagai bagian dari sebuah tradisi dan budaya kehidupan manusia, yang di
dalamnya menyimpan hal-hal yang reflektif, kritis, bahkan filosofis.
Oni SOS, Kang Ibing Wannabe |
Kamis malam tanggal 19 Agustus 2010,
sekitar pukul 20.45 WIB, Kang Ibing dinyatakan meninggal dunia pada umur
64 tahun di UGD Rumah Sakit Al Islam Bandung, karena mengalami
pendarahan akibat terjatuh dari lantai kamar mandi rumahnya. Belakangan
dari hasil pemeriksaan, Kang Ibing diketahui terkena serangan jantung. Penyakit
ini dideritanya sejak 15 tahun yang lalu. Sebelum meninggal, Kang Ibing
mengeluh mual, pusing, kemudian muntah. Jenazah disemayamkan di rumah duka di
Jl. Kencana Wangi No.70 Komplek Pandan Wangi Kelurahan Buahbatu, Kecamatan
Buahbatu, Bandung untuk selanjutnya jenazah dimakamkan di Gunung Puyuh
Sumedang.
Pada akhirnya Kang Ibing dikenal sebagai Seniman
Legenda dari tanah sunda dan pahlawan buat kelestarian budaya sunda. Semoga beliau
di terima disisinya.. amin
Kang Ibing: ”Ini jg bagus
anjingnya. Keturunan.”
Aom Kusman: “Keturunan apa?”
Kang Ibing: “Keturunan anjing,
lagi..”
-De Kabayan
-De Kabayan
-Dari berbagai Sumber
nice
ReplyDelete